Hatiku
Serta Hatinya Adalah Milik Allah
Oleh: khosi’atun
Hembusan
lembut angin gurun dari arah timur laut menyibak kerudungku, gerak halus
kerudungku seolah sealun dengan gelombang air oasis yang tersibak pula olehnya. Disusul oleh angin gurun dari arah lain yang
seolah tak mau mengalah untuk beralun,saling bergantian hingga alunannya
membentuk ukiran indah diatas hamparan pasir. Sungguh indah ciptaan Allah yang
selalu aku nikmati melalui balkon pavilliun ini. Pavilliun ini terletak di batas kota Wadi al Hayaa tak cukup
jauh dari gurun Ubari dengan oasisnya yang indah. Oasis dengan bertepi pohon
nan hijau yang tak akan kutemui disepanjang kota ini.
“Assalamu’alaikum Habibah...”
terdengar suara dari arah belakang saat aku masih memandangi hamparan pasir.
“Wa’alaikumsalam, eh ukhti Akilah di
sini, sudah selesai merajut benang-benangnya...?”
(sambil bersalaman)
“iya,,aku ingin beristirahat sejenak, menikmati
sesuatu yang indah dari balkon ini,,”
Akilah
binti Harun adalah anak dari seorang pedagang kain, merajut benang menjadi kain
merupakan pekerjaan sehari-harinya.
“ukhti tahu aja tempat yang tepat,, untuk menikmati
keindahan,yaitu di balkon ini” candaku mengawali
pembicaraan.
“iya,,subhanallah sungguh ciptaan
Allah Yang Maha Agung,” jawab Akilah dengan nada lembut
dengan tak lepas memandangi desir pasir dihamparan gurun serta indahnya oasis
kecil didalamnya dengan airnya yang terliat membiru.
Begitulah
kebersamaan kami setiap menjelang malam,merasakan pergantian udara yang hembusannya
mulai berubah dari sangat panas menjadi sangat dingin ketika malam tiba.
“assalamu’alaikum wararmatullah...
assalamu’alaikum wararmatullah...” saat aku selesai
shalat subuh bersama umi dan abi dalam musholla kecil rumah kami.
“assalamu’alaikum..” terdengar
suara terdengar didepan kontrakan kami.
“wa’alaikumsalam warahmatullah....Habibah
segera buka pintunya”
“baik...Abi..”
Kreeek,,kreeek,,,kreekk,,
(pintu kubuka)
“Assalamu’alaikum Habibah..”
“Wa’alaikumsalam.. ukhti Akilah
silahkan masuk,,ada apa kok pagi sekali?”
“iya terima kasih Habibah... Dimana
Abi Syuaib? aku akan izin untuk mengajakmu ke pasar Fezzan”
“iya,,, sebentar aku panggilkan Abi”(masuk
ke ruang dalam)
Tak
lama kemudian Abi sampai di ruang tamu.
“iya...Ada apa Akilah...”
“Begini Bi,, Akilah mau minta izin
mengajak ukhti Habibah ke pasar Fezzan, untuk membeli perlengkapan untuk jamuan
tamu di tempat kami, saudara kami dari Mesir akan datang ke tempat kami”
“oh silahkan... tunggu saja,,mungkin
Habibah baru bersiap”
“Terima kasih Abi”
Tiba
di pasar Fezzan,kami membeli banyak jamuan diantaranya Gahwa Arbiya (Kopi
Arab), Shahee Akhdar (Green Tea), Shahee Ahmer (Teh Merah), Shahee Bil-Lowz (Teh dengan Almond)
sebagai minuman penghangat dimalam hari. Dan tak lupa kami membeli bahan-bahan
untuk membuat Bazeen (Gundukan
adonan kaku yang terbuat dari barley yang disajikan dengan saus tomat dengan kentang,
telur dan kadang-kadang daging berbasis seperti domba), lalu ada Rishtat Kis-Cas (hidangan besar
dari pasta mie juga dikenal sebagai "Busla").
“Berapa tuan harga satu kue kenafa ini
(makanan sejenis bika)?? Tanya Akilah pada seorang penjual
kue kenafa.
“3 Dinar nona”Jawab
penjualnya.
“mahal sekali ya., bisa dikurangi??
saya mau membeli 50 kue.”
“Kenapa belinya banyak sekali
ukhti, tamu besar ya..?,” tanyaku sedikit heran.
“tidak bisa 2 dinar aja tuan.? Bisa ya..?.
emm..Ini saudaraku bersama grup Nasyidnya Al Quds yang akan akan menginap
dirumahku dan jugan akan tampil di
masjid tempat kita mengaji ,”jawab
Akilah sambil menawar kue kenafa.
Selesai menawar akhirnya kami dapat kue kenafa
dengan harga yang kami inginkan yaitu 2 dinar,Akilah memang pandai menawar
karena dia sudah terbiasa di pasar saat membantu orang tuanya menjualkan
kain-kain.
Di rumah Akilah, aku juga membantu mempersiapkan
jamuan-jamuannya.
”Habibah,, ini tolong
dilanjutkan dulu ya...sepertinya tamu kita sudah datang,”
“baik umi..” jawabku pada umi Aisyah (ibunya Akilah) saat
menyuruhku melanjutkan memasak hidangan di dapurnya.
“oh...selamat datang wahai keponakanku” sapa Abi Hasan (ayah Akilah) sambil memeluk pundak
keponakannya.
“Assalamu’alaikum
wahai pamanku” Wafa bin Harun menyapa pula pada keluarga
Akilah.
“Wa’alaikumsalam
warahmatullah,, ayo ayo sini duduk dulu, kita perlu bicara banyak..sudah
bertaun-tahun tidak bertemu,”
“Baik paman...,”
Merekapun mulai
berbincang-bincang panjang.
“wah ini Akilah
menghidangkan Bazeen dan buah tapi tidak
ada pisaunya, bagaimana tamu mau memakannya..ha,ha,ha sebentar saya panggil
Akilah dulu”
“ehh,tidak usah
paman,biar saya ambil sendiri”
“oh ya sudah,
ambillah sendiri di dapur”
(pemuda itu
berjalan menuju dapur)
“afwan ukhti, pisaunya
dimana ya..,”Tanya seorang
pemuda padaku.
(tersentak aku mendengar suara halus merdu yang tak
pernah kudengar sebelumnya)
“ini akh..,” jawabku sedikit memandang kemudian menundukkan
pandanganku.
“terima kasih” jawabnya lagi dengan suaranya yang merdu.
Setelah semua hidangan selesai,akupun pamit pulang
karena hari sudah mulai malam. Dan tak lupa Umi Aisyah membawakanku sedikit
hidangan tersebut untuk dibawa pulang.
“Assalamu’alaikum,,umi,,abi,,,
ini ada sedikit makanan dari umi Aisyah,,”
“Wa’alaikumsala...
iya,letakkan saja di meja makan”jawab
umi dari dapur.
Didalam kamar kubuka jendela kamarku, menatap
langit,dengan milliaran bintang yang dapan kulihat tanpa terhalang sedikitpun.
Tiba-tiba Akh Wafa mengisi renungan sepiku. Dari merdu suaranya seperti desir
air danau ditengah desiran pasir gurun,halus hingga hampir tak terdengar. Juga
wajahnya yang tenang dan berwibawa,serta dengan hiasan jenggot tipis manis
didagunya. Tak heran senyumnyapun manis walaupun hanya sekejap aku
memandangnya.“Astaghfirullah..” segera
kuingat Allah saat pikiranku telah jauh dari-Nya.Keesokan harinya seperti
biasa,aku menghampiri Akilah untuk pergi ke pengajian pagi. Pagi ini ulama’
pengisi ceramah memberikan sedikit gambaran tentang kasih sayang. Masih kuingat
sebuah hadist yang disebutkannya:
“Belum sempurna iman seseorang hingga ia
mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Kasih sayang
dalam Islam bersifat Universal. Ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kasih
sayang diwujudkan dalam bentuk yang nyata seperti silaturahmi, meringankan
beban tetangga yang sedang ditimpa musibah, mendamaikan orang yang berselisih.
Saat itu pula tak sengaja tanganku menuliskan
seuntai kata yang kutulis dalan secarik kertas:
“Ya Allah,entah
mengapa hati hambamu ini gelisah sejak bertemu dengan dia, mendengar suaranya,
melihat sikap dan tutur katanya hingga hamba ingin memilikinya, ingin mendapat
bimbingannya untuk lebih dekat dengan-Mu. Jika dia jodohku,dekatkanlah hatinya
untukku, jika dia bukanlah jodohku,hindarkanlah hatiku untuk sekedar berbisik
tentangnya”
[Habibi Wafa bin
Harun]
Tiba-tiba
terlantun sebuah syair nan merdu, berbeda dari hari biasanya. Ternyata grup
nasyid Al Quds. Jantungku penuh debaran yang tak bisa aku kendalikan, akhirnya
aku pamit pada ukhti untuk ke kamar kecil hingga lantunan suara itu terhenti.
.
. . . Sebulan kemudian . . . . .
“Assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam warahmatullah..
silahkan masuk,,,”
“Abimu ada nak..?”tanya
seorang wanita setengah baya dengan lembut.
“iya,bisa tolong panggilkan Abimu?”
lanjut
seorang lelaki yang sepertinya tak sabar untuk bertemu dengan Abi.
“iya ada,,, saya permisi masuk
sebentar untuk memanggil Abi” berjalan masuk ruang
dalam.
Sesaat
kemudian Abi menemui tamu tersebut, tak lama kamudian umipun dipanggil Abi
untuk menemaninya. Dari dalam sudut dapur cukup dekat dengan ruang tamu,
terlihat percakapan mereka sangat serius. Dengan sedikit khawatir aku menyusul
ke ruang tamu untuk membawakan suguhan minum untuk tamu kami. Dan aku suguhkan
pula sedikit hidangan yang cukup memenuhi meja kecil di ruang tamu kami.
“Silahkan,, dicoba paman...bibi...”
aku
mencoba mempersilahkan dan kemudian berbalik untuk masuk kembali.
“Habibah..” suara
Abi memanggilku
“iya Bi...”
“Sini sebentar, duduklah dekat
Umimu, ada yang ingin Abi sampaikan padamu”
Aku
semakin gemetar dengan keadaan ini
“Nak..ini adalah orang tua Wafa bin
Harun,, mereka menyukaimu,, apakah kamu ingin bersama mereka?”
“maksud Abi?”
“mereka ingin mengkhitbahmu untuk
putra mereka, Wafa bin Harun”
Sedikit
senyuman mengembang dibibirku,aku menunduk malu. Aku tak mampu untuk
menjawabnya.
“Oh,ternyata putriku sudah dewasa,
kamu tahu cara untuk menerima hitbah untukmu, dengan sedikit senyuman dan
menundukkan kepala” Canda Abi.
“ha,,ha,,ha,,ha,,,” salah
tingkahku semakin menjadi bahan tertawaan mereka.
Dalam
pertemuan keluarga malam itu telah ditetapkan tanggal pertemuan kami,yaitu
sebulan setelah pertemuan itu Akh Wafa akan menemui orang tuaku dan menemuiku, lalu
seminggu setelahnya akan segera dipersiapkan untuk akad serta walimatul arsy
oleh kedua belah keluarga.
Terbenamnya
matahari,munculnya bulan,hingga terbitnya lagi matahari hampir tak luput dari
pandanganku. Bergantinya hari selalu kunanti, rasanya aku tak sabar untuk
mengisi hari itu,hari pertemuanku dengan akhi Wafa.
Akhirnya
saat yang ku nantipun tiba. Ku mencoba mendengar percakapan Akh Wafa dengan Abi
dari dalam kamarku. Tak kudengar canda Abi padanya sedikitpun.
“Putriku keluarlah nak.. calon
suamimu ingin mengenalmu lebih dekat”
“baik Bi.....” kulangkahkan
kaki penuh harap, tapi entah mengapa kaki ini terasa berat, takut dan bingung
bercampur untuk menghadapi situasi yang pertama kali aku rasakan.
“Duduklah nak,,,
bicaralah apa yang ingin kalian saling ketahui, Abi akan menunggu di dalam”
“Baik Bi..” jawab kami berdua.
Sejenak suasana hening,tak ada satupun kata ku
dengar.
“Ukhti
Habibah...”
“iya Akh...”
“Ada yang ingin
kamu ketahui tentangku?? ”
“Tidak... nanti
seiring waktu aku akan mengetahui semuanya tentangmu tanpa aku menanyakannya
padamu,di saat yang halalku untuk mengetahui segalanya tentangmu”
“Apakah engkau
telah benar-benar yakin? ”
“Aku yakin akan
pilihan Allah untukku. Tapi mengapa engkau bertanya seperti itu, bukankah itu
seperti sebuah keraguanmu?”
“sejujurnya aku
belum sepenuhnya siap dengan semua ini, aku hanya tak ingin memudarkan senyum
kedua orang tuaku untuk mengambilmu. Mereka sudah teramat menyukaimu sejak
ukhti Akilah memperkenalkanmu pada mereka”
Tak kusangka untaian kata terakhirnya itu begitu
beku kurasakan, bibirkupun tak mampu kubuka lagi. Dengan senyum ku tahan air
mataku, dan aku coba merangkai kata untuknya.
“Akhi...pernikahan
adalah hal suci. Aku ingin menjadikan pernikahanku sebagai rumah tangga didunia dan akhirat yang penuh
cinta. Aku tak ingin ada keraguan. Aku ingin mengulang kisah ssayyidatina Fatimah
ra. Dan Sayyidina Ali yang dipertemukan Allah dengan penuh cinta diantara
keduanya. Bukan cinta dan kemantapan sepihak. Aku akan menunggumu untuk siap,
dan jika engkau tak akan pernah siap untukku, Sampaikanlah pada orang tua
kita,aku akan menerimanya dan akan membantumu untuk meyakinkan mereka bahwa
mungkin engkau memang bukanlah pilihan Allah untukku. Pikirkanlah dengan
matang,aku akan menunggu jawabanmu akh”. Setetes air bening mengalir dari sudut mataku,
segera aku berdiri dan beranjak pergi.
Pemuda itupun berpamitan pada Umi dan Abi untuk
pulang. Dan malam ini akhirnya aku mengetahui juga alasan sesungguhnya ia ingin
menikahiku. Dan aku mengetahui pula mengapa ukhti Akilah menceritakanku pada
orang tua Akhi Wafa, karena ia telah membaca seuntai kata yang ku tulis dan
kuselipkan dan sebuah kitab hadist yang kutulis dimasjid,yang kemudian
kutitipkan kitabku pada Akilah ketika aku ke kamar kecil.
Ya Allah,ya
Robbi... Engkaulah Maha Kasih dan Sayang. Engkau titipkan pada kami sebuah hati
yang engkau isi dengan kasih dan sayang-Mu, hati dalam dadaku ini bukanlah
milikku,yang tak bisa kuperintahkan untuk melupakannya dari hidupku. Dan hati dalam dadanya, bukan pula miliknya,yang
bisa dipaksa untuk menyayangiku. Tapi hati kami ini adalah milik-Mu wahai Rabb
ku. Maka jika aku jodohnya,perintahkanlah hati kami untuk saling menyayangi.
Tapi jika tak berjodoh, bersihkanlah hati kami dari satu sama lain,dan
hindarkanlah kami dari kekecewaan dan penyesalan. Sungguh Engkau Maha mengetahui
dari apa yang tidak kami ketahui”.
Aku percaya Allah tau yang terbaik untukku. Biarlah
Allah yang melanjutkan kisah cintaku. Kisah cinta yang pada akhirnya berujung
pada-Nya pula. Aamiiinn...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar