Selasa, 11 Februari 2014

cerpen remaja islami



Hatiku Serta Hatinya Adalah Milik Allah
Oleh: khosi’atun

Hembusan lembut angin gurun dari arah timur laut menyibak kerudungku, gerak halus kerudungku seolah sealun dengan gelombang air oasis yang tersibak pula olehnya.  Disusul oleh angin gurun dari arah lain yang seolah tak mau mengalah untuk beralun,saling bergantian hingga alunannya membentuk ukiran indah diatas hamparan pasir. Sungguh indah ciptaan Allah yang selalu aku nikmati melalui balkon pavilliun ini. Pavilliun ini  terletak di batas kota Wadi al Hayaa tak cukup jauh dari gurun Ubari dengan oasisnya yang indah. Oasis dengan bertepi pohon nan hijau yang tak akan kutemui  disepanjang kota ini.
“Assalamu’alaikum Habibah...” terdengar suara dari arah belakang saat aku masih memandangi hamparan pasir.
“Wa’alaikumsalam, eh ukhti Akilah di sini, sudah selesai merajut benang-benangnya...?” (sambil bersalaman)
iya,,aku ingin beristirahat sejenak, menikmati sesuatu yang indah dari balkon ini,,
Akilah binti Harun adalah anak dari seorang pedagang kain, merajut benang menjadi kain merupakan pekerjaan sehari-harinya.
“ukhti  tahu aja tempat yang tepat,, untuk menikmati keindahan,yaitu di balkon ini” candaku mengawali pembicaraan.
“iya,,subhanallah sungguh ciptaan Allah Yang Maha Agung,” jawab Akilah dengan nada lembut dengan tak lepas memandangi desir pasir dihamparan gurun serta indahnya oasis kecil didalamnya dengan airnya yang terliat membiru.
Begitulah kebersamaan kami setiap menjelang malam,merasakan pergantian udara yang hembusannya mulai berubah dari sangat panas menjadi sangat dingin ketika malam tiba.
“assalamu’alaikum wararmatullah... assalamu’alaikum wararmatullah...” saat aku selesai shalat subuh bersama umi dan abi dalam musholla kecil rumah kami.
“assalamu’alaikum..” terdengar suara terdengar didepan kontrakan kami.
“wa’alaikumsalam warahmatullah....Habibah segera buka pintunya”
“baik...Abi..”
Kreeek,,kreeek,,,kreekk,, (pintu kubuka)
“Assalamu’alaikum Habibah..”
“Wa’alaikumsalam.. ukhti Akilah silahkan masuk,,ada apa kok pagi sekali?”
“iya terima kasih Habibah... Dimana Abi Syuaib? aku akan izin untuk mengajakmu ke pasar Fezzan”
“iya,,, sebentar aku panggilkan Abi”(masuk ke ruang dalam)
Tak lama kemudian Abi sampai di ruang tamu.
“iya...Ada apa Akilah...”
“Begini Bi,, Akilah mau minta izin mengajak ukhti Habibah ke pasar Fezzan, untuk membeli perlengkapan untuk jamuan tamu di tempat kami, saudara kami dari Mesir akan datang ke tempat kami”
“oh silahkan... tunggu saja,,mungkin Habibah baru bersiap”
“Terima kasih Abi”
Tiba di pasar Fezzan,kami membeli banyak jamuan diantaranya Gahwa Arbiya (Kopi Arab), Shahee Akhdar (Green Tea), Shahee Ahmer (Teh Merah), Shahee Bil-Lowz (Teh dengan Almond) sebagai minuman penghangat dimalam hari. Dan tak lupa kami membeli bahan-bahan untuk membuat Bazeen (Gundukan adonan kaku yang terbuat dari barley yang disajikan dengan saus tomat dengan kentang, telur dan kadang-kadang daging berbasis seperti domba), lalu ada Rishtat Kis-Cas  (hidangan besar dari pasta mie juga dikenal sebagai "Busla").
“Berapa tuan harga satu kue kenafa ini (makanan sejenis bika)?? Tanya Akilah pada seorang penjual kue kenafa.
“3 Dinar nona”Jawab penjualnya.
“mahal sekali ya., bisa dikurangi?? saya mau membeli 50 kue.”
“Kenapa belinya banyak sekali ukhti, tamu besar ya..?,” tanyaku sedikit heran.
 “tidak bisa 2 dinar aja tuan.? Bisa ya..?. emm..Ini saudaraku bersama grup Nasyidnya Al Quds yang akan akan menginap dirumahku dan jugan akan  tampil di masjid tempat kita mengaji  ,”jawab Akilah sambil menawar kue kenafa.
Selesai menawar akhirnya kami dapat kue kenafa dengan harga yang kami inginkan yaitu 2 dinar,Akilah memang pandai menawar karena dia sudah terbiasa di pasar saat membantu orang tuanya menjualkan kain-kain.
Di rumah Akilah, aku juga membantu mempersiapkan jamuan-jamuannya.
”Habibah,, ini tolong dilanjutkan dulu ya...sepertinya tamu kita sudah datang,”
“baik umi..” jawabku pada umi Aisyah (ibunya Akilah) saat menyuruhku melanjutkan memasak hidangan di dapurnya.
 “oh...selamat datang wahai keponakanku” sapa Abi Hasan (ayah Akilah) sambil memeluk pundak keponakannya.
“Assalamu’alaikum wahai pamanku”  Wafa bin Harun menyapa pula pada keluarga Akilah.
“Wa’alaikumsalam warahmatullah,, ayo ayo sini duduk dulu, kita perlu bicara banyak..sudah bertaun-tahun tidak bertemu,”
“Baik paman...,” Merekapun mulai berbincang-bincang panjang.
“wah ini Akilah menghidangkan Bazeen dan buah tapi  tidak ada pisaunya, bagaimana tamu mau memakannya..ha,ha,ha sebentar saya panggil Akilah dulu”
“ehh,tidak usah paman,biar saya ambil sendiri”
“oh ya sudah, ambillah sendiri di dapur”
 (pemuda itu berjalan menuju dapur)
“afwan ukhti, pisaunya dimana ya..,”Tanya seorang pemuda padaku.
(tersentak aku mendengar suara halus merdu yang tak pernah kudengar sebelumnya)
“ini akh..,” jawabku sedikit memandang kemudian menundukkan pandanganku.
“terima kasih” jawabnya lagi dengan suaranya yang merdu.
Setelah semua hidangan selesai,akupun pamit pulang karena hari sudah mulai malam. Dan tak lupa Umi Aisyah membawakanku sedikit hidangan tersebut untuk dibawa pulang.
“Assalamu’alaikum,,umi,,abi,,, ini ada sedikit makanan dari umi Aisyah,,”
“Wa’alaikumsala... iya,letakkan saja di meja makan”jawab umi dari dapur.
Didalam kamar kubuka jendela kamarku, menatap langit,dengan milliaran bintang yang dapan kulihat tanpa terhalang sedikitpun. Tiba-tiba Akh Wafa mengisi renungan sepiku. Dari merdu suaranya seperti desir air danau ditengah desiran pasir gurun,halus hingga hampir tak terdengar. Juga wajahnya yang tenang dan berwibawa,serta dengan hiasan jenggot tipis manis didagunya. Tak heran senyumnyapun manis walaupun hanya sekejap aku memandangnya.“Astaghfirullah..” segera kuingat Allah saat pikiranku telah jauh dari-Nya.Keesokan harinya seperti biasa,aku menghampiri Akilah untuk pergi ke pengajian pagi. Pagi ini ulama’ pengisi ceramah memberikan sedikit gambaran tentang kasih sayang. Masih kuingat sebuah hadist yang disebutkannya:
 “Belum sempurna iman seseorang hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. Kasih sayang dalam Islam bersifat Universal. Ia tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Kasih sayang diwujudkan dalam bentuk yang nyata seperti silaturahmi, meringankan beban tetangga yang sedang ditimpa musibah, mendamaikan orang yang berselisih. Saat itu pula tak sengaja tanganku menuliskan  seuntai kata yang kutulis dalan secarik kertas:
“Ya Allah,entah mengapa hati hambamu ini gelisah sejak bertemu dengan dia, mendengar suaranya, melihat sikap dan tutur katanya hingga hamba ingin memilikinya, ingin mendapat bimbingannya untuk lebih dekat dengan-Mu. Jika dia jodohku,dekatkanlah hatinya untukku, jika dia bukanlah jodohku,hindarkanlah hatiku untuk sekedar berbisik tentangnya”
[Habibi Wafa bin Harun]
Tiba-tiba terlantun sebuah syair nan merdu, berbeda dari hari biasanya. Ternyata grup nasyid Al Quds. Jantungku penuh debaran yang tak bisa aku kendalikan, akhirnya aku pamit pada ukhti untuk ke kamar kecil hingga lantunan suara itu terhenti.
. . . . Sebulan kemudian . . . . .
“Assalamu’alaikum...”
“wa’alaikumsalam warahmatullah.. silahkan masuk,,,”
“Abimu ada nak..?”tanya seorang wanita setengah baya dengan lembut.
“iya,bisa tolong panggilkan Abimu?” lanjut seorang lelaki yang sepertinya tak sabar untuk bertemu dengan Abi.
“iya ada,,, saya permisi masuk sebentar untuk memanggil Abi” berjalan masuk ruang dalam.
Sesaat kemudian Abi menemui tamu tersebut, tak lama kamudian umipun dipanggil Abi untuk menemaninya. Dari dalam sudut dapur cukup dekat dengan ruang tamu, terlihat percakapan mereka sangat serius. Dengan sedikit khawatir aku menyusul ke ruang tamu untuk membawakan suguhan minum untuk tamu kami. Dan aku suguhkan pula sedikit hidangan yang cukup memenuhi meja kecil di ruang tamu kami.
“Silahkan,, dicoba paman...bibi...” aku mencoba mempersilahkan dan kemudian berbalik untuk masuk kembali.
“Habibah..” suara Abi memanggilku
“iya Bi...”
“Sini sebentar, duduklah dekat Umimu, ada yang ingin Abi sampaikan padamu”
Aku semakin gemetar dengan keadaan ini
“Nak..ini adalah orang tua Wafa bin Harun,, mereka menyukaimu,, apakah kamu ingin bersama mereka?”
“maksud Abi?”
“mereka ingin mengkhitbahmu untuk putra mereka, Wafa bin Harun”
Sedikit senyuman mengembang dibibirku,aku menunduk malu. Aku tak mampu untuk menjawabnya.
“Oh,ternyata putriku sudah dewasa, kamu tahu cara untuk menerima hitbah untukmu, dengan sedikit senyuman dan menundukkan kepala” Canda Abi.
“ha,,ha,,ha,,ha,,,” salah tingkahku semakin menjadi bahan tertawaan mereka.
Dalam pertemuan keluarga malam itu telah ditetapkan tanggal pertemuan kami,yaitu sebulan setelah pertemuan itu Akh Wafa akan menemui orang tuaku dan menemuiku, lalu seminggu setelahnya akan segera dipersiapkan untuk akad serta walimatul arsy oleh kedua belah keluarga.
Terbenamnya matahari,munculnya bulan,hingga terbitnya lagi matahari hampir tak luput dari pandanganku. Bergantinya hari selalu kunanti, rasanya aku tak sabar untuk mengisi hari itu,hari pertemuanku dengan akhi Wafa.
Akhirnya saat yang ku nantipun tiba. Ku mencoba mendengar percakapan Akh Wafa dengan Abi dari dalam kamarku. Tak kudengar canda Abi padanya sedikitpun.
“Putriku keluarlah nak.. calon suamimu ingin mengenalmu lebih dekat”
“baik Bi.....” kulangkahkan kaki penuh harap, tapi entah mengapa kaki ini terasa berat, takut dan bingung bercampur untuk menghadapi situasi yang pertama kali aku rasakan.
“Duduklah nak,,, bicaralah apa yang ingin kalian saling ketahui, Abi akan menunggu di dalam”
“Baik Bi..” jawab kami berdua.
Sejenak suasana hening,tak ada satupun kata ku dengar.
“Ukhti Habibah...”
“iya Akh...”
“Ada yang ingin kamu ketahui tentangku?? ”
“Tidak... nanti seiring waktu aku akan mengetahui semuanya tentangmu tanpa aku menanyakannya padamu,di saat yang halalku untuk mengetahui segalanya tentangmu”
“Apakah engkau telah benar-benar yakin? ”
“Aku yakin akan pilihan Allah untukku. Tapi mengapa engkau bertanya seperti itu, bukankah itu seperti sebuah keraguanmu?”
“sejujurnya aku belum sepenuhnya siap dengan semua ini, aku hanya tak ingin memudarkan senyum kedua orang tuaku untuk mengambilmu. Mereka sudah teramat menyukaimu sejak ukhti Akilah memperkenalkanmu pada mereka”
Tak kusangka untaian kata terakhirnya itu begitu beku kurasakan, bibirkupun tak mampu kubuka lagi. Dengan senyum ku tahan air mataku, dan aku coba merangkai kata untuknya.
“Akhi...pernikahan adalah hal suci. Aku ingin menjadikan pernikahanku sebagai  rumah tangga didunia dan akhirat yang penuh cinta. Aku tak ingin ada keraguan. Aku ingin mengulang kisah ssayyidatina Fatimah ra. Dan Sayyidina Ali yang dipertemukan Allah dengan penuh cinta diantara keduanya. Bukan cinta dan kemantapan sepihak. Aku akan menunggumu untuk siap, dan jika engkau tak akan pernah siap untukku, Sampaikanlah pada orang tua kita,aku akan menerimanya dan akan membantumu untuk meyakinkan mereka bahwa mungkin engkau memang bukanlah pilihan Allah untukku. Pikirkanlah dengan matang,aku akan menunggu jawabanmu akh”. Setetes air bening mengalir dari sudut mataku, segera aku berdiri dan beranjak pergi.
Pemuda itupun berpamitan pada Umi dan Abi untuk pulang. Dan malam ini akhirnya aku mengetahui juga alasan sesungguhnya ia ingin menikahiku. Dan aku mengetahui pula mengapa ukhti Akilah menceritakanku pada orang tua Akhi Wafa, karena ia telah membaca seuntai kata yang ku tulis dan kuselipkan dan sebuah kitab hadist yang kutulis dimasjid,yang kemudian kutitipkan kitabku pada Akilah ketika aku ke kamar kecil.
Ya Allah,ya Robbi... Engkaulah Maha Kasih dan Sayang. Engkau titipkan pada kami sebuah hati yang engkau isi dengan kasih dan sayang-Mu, hati dalam dadaku ini bukanlah milikku,yang tak bisa kuperintahkan untuk melupakannya dari hidupku. Dan  hati dalam dadanya, bukan pula miliknya,yang bisa dipaksa untuk menyayangiku. Tapi hati kami ini adalah milik-Mu wahai Rabb ku. Maka jika aku jodohnya,perintahkanlah hati kami untuk saling menyayangi. Tapi jika tak berjodoh, bersihkanlah hati kami dari satu sama lain,dan hindarkanlah kami dari kekecewaan dan penyesalan. Sungguh Engkau Maha mengetahui dari apa yang tidak kami ketahui”.
Aku percaya Allah tau yang terbaik untukku. Biarlah Allah yang melanjutkan kisah cintaku. Kisah cinta yang pada akhirnya berujung pada-Nya pula. Aamiiinn...